Tuesday, February 27, 2007 |
Kembali ke Laptop |
Siapa yang tidak kenal dengan Tukul Arwana. Ia seakan menyihir pemirsa se-Nusantara untuk bergeming di depan televisi setiap Senin-Jumat pukul 22.00 malam lewat acara Empat Mata di Trans7. Acara ini menempati rating tertinggi. Lihat saja iklannya, bejibun bukan?
Kesuksesan acara ini terletak pada kelihaian produsernya untuk memberdayakan "kehancuran" wajah dan sifat "ndeso" Tukul yang bergaya dengan laptopnya. Di sisi lain, selain jago ngebanyol Tukul juga berani mencemooh dirinya sendiri demi menghibur penonton acara yang dibawakannya. Ia menghina dina mukanya yang monyong, giginya yang maju. Tapi, itulah asetnya. Ia sering mempersonifikasi dirinya sebagai Sarimin, apa lagi kalau bukan monyet. Penonton pun gerrrrr... dengan polahnya. Lalu, dengan gayanya ia "marah-marah" kepada penonton, "Puas-puas....!!" atau "Sobek... sobek... mulutmu....". Kemudian, kembali ke laptop.
Acara televisi seperti Empat Mata ini setidaknya menjadi obat penyejuk dan penyeimbang berbagai tontonan televisi kita yang kini terus didominasi oleh berita musibah.
Sementara itu, ucapan-ucapan Tukul menjadi populer di masyarakat kita saat ini. Dari anak-anak hingga orang tua di berbagai kesempatan menirukan ungkapan Tukul seperti "ndeso", "katro", dan yang paling populer adalah "kembali ke laptop". Bahkan, istilah "tukulisme" serta "tukulogi" pun lahir oleh para "penggila" Tukul.
Tukul kini menjadi "seseorang" dari bukan "siapa-siapa". Dari sekadar pembawa acara dangdut atau acara lawak di televisi, kini menjadi jutawan yang konon sekali tayang ia dibayar Rp 20-an juta lebih. Suatu penghasilan yang fantastis.
Di luar peruntungan, tentu ini semua Tukul peroleh dengan suatu kerja keras. Akan tetapi, akankah Tukul tetap rendah hati?
Read more!
|
posted by Apollo Lase @ 12:16 AM |
|
|
Monday, February 26, 2007 |
Levina, Oh Levina |
Ada apa dengan Levina, kapal motor penumpang yang jadi buah bibir sekarang ini? Baru saja terbakar dan menewaskan puluhan penumpangnya, Kamis (22/2) lalu, pada hari Minggu kemarin kapal tersebut memakan korban lagi. Juru kamera Lativi, Suherman, tenggelam dan meninggal setelah meliput penyidikan bangkai kapal oleh kepolisian dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Muhammad Guntur Syaifullah (juru kamera SCTV), Ajun Komisaris Besar Langgeng Widodo dan Komisaris Widianto (anggota Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Polri) juga ditemukan meninggal pada musibah itu.
Pada video rekaman dari juru kamera Metro TV saat detik-detik tenggelamnya bangkai KMP Levina I terlihat bahwa ternyata sebagian wartawan dan petugas tidak memakai alat keselamatan berupa rompi pelampung. Menurut Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, para wartawan dan petugas penyidik itu "menolak" memakai pelampung saat brifing dilakukan sebelum menaiki bangkai Levina.
Melalui peristiwa menyedihkan ini, baiklah kita menarik pelajaran yang sangat berharga, yakni hendaknya kita jangan meremehkan segala masalah. Penilaian saya, betapa di negara kita keselamatan tidak menjadi prioritas utama. Kita cenderung abai dalam hal keselamatan jiwa manusia, entah dibutakan oleh kepentingan yang menurut kita lebih penting, atau memang sudah menjadi tradisi bangsa ini untuk kurang menghargai nyawa manusia?
Berbagai peristiwa kecelakaan yang terjadi akhir-akhir ini hampir semua membuktikan bahwa kita lemah dalam urusan keselamatan. Lihat saja saat kapal KMP Senopati Nusantara tenggelam di Perairan Mandalika, 29 Desember 2006. Penumpang melebihi kapasitas atau daya angkut kapal. Anehnya, nakhoda kapal, yang seharusnya bisa memprediksi bahaya yang timbul akibat kelebihan muatan, justru berani menjalankan kapal. Apa yang terjadi? Ratusan penumpang ditelan lautan, mati sia-sia. Bahkan hingga kini banyak yang belum ditemukan jasadnya.
Demikian juga sejumlah kecelakan pesawat yang menimpa dunia penerbangan kita. Hanya karena alasan untuk mengeruk keuntungan, manajemen penerbangan mengklaim pesawat tua dan bermasalah laik untuk diterbangkan. Ada kebohongan atau tepatnya manipulasi data. Akhirnya, kita bisa saksikan apa yang terjadi. Nyawa hilang....
Semua ini membuat kita waswas setiap kali menggunakan alat transpotasi di negeri ini. Sepertinya tidak ada tempat yang dijamin aman bagi setiap pengguna jasa transportasi. Mau naik kereta api, khawatir anjlok. Pergi dengan pesawat waswas jatuh. Lalu, di mana tempat yang aman di negeri ini?
Sementara kecelakaan beruntun itu terjadi, kita terlihat belum sadar apa yang mesti kita benahi untuk terhindar dari segalah tragedi ini. Pemerintah agaknya juga dibuat pusing sendiri karena betapa rumitnya manajemen pemerintahan di bangsa ini. Buktinya, belum terlihat perbaikan yang menggembirakan.
Rasa sedih dan keprihatinan yang mendalam atas kondisi ini lumrah kita alami. Namun, menurut saya, tidak cukup bersedih dan prihatin. Mari kita budayakan bahwa keselamatan jiwa manusia menjadi yang utama. Kalau selama ini kita kurang menghargai jiwa manusia, baiklah sekarang apa pun yang kita lakukan, apalagi yang sifatnya massal, hendaknya menempatkan keselamatan jiwa manusia di atas segalanya.Setuju?
Read more!
|
posted by Apollo Lase @ 12:01 AM |
|
|
Friday, February 23, 2007 |
Kanal Banjir Timur |
Beberapa hari terakhir, milis guyub bahasa diramaikan dengan Banjir Kanal Timur. Apa soal? Istilah itu, menurut ahli bahasa, para munsyi, dan penutur bahasa Indonesia yang terbiasa dengan hukum DM (diterangkan dan menerangkan), salah kaprah. BKT berarti "banjir"-nya yang diterangkan, padahal dalam konteks dimaksud seharusnya yang diterangkan adalah "kanal"nya. Dalam KBBI kanal diartikan sebagai terusan atau saluran. Jadi, istilah yang benar itu seyogianya KBT (Kanal Banjir Timur), kalau yang dibikin itu adalah saluran untuk mengurangi dampak banjir di Jakarta.
Terkait dengan banjir Jakarta, yang terjadi awal Februari lalu, istilah BKT mengemuka karena, menurut Pemerintah DKI, untuk mengurangi terjangan banjir maka perlu dibuat BKT. Namun, proyek BKT yang sudah separuh jalan itu terhambat karena ada penduduk yang bergeming tidak mau tanahnya dibebaskan.
Akan tetapi, yang sangat disayangkan, walaupun salah, istilah itu telanjur beredar di tengah masyarakat dan kelihatannya tidak ada sinyal untuk diluruskan. Media massa tidak bisa berbuat apa-apa selain terus menyosialisasikan istilah yang salah itu kepada pembaca dan pemirsanya. Sementara Pusat Bahasa, yang notabene sebagai yang bertanggung jawab dalam urusan kebahasaan di negeri ini(?), juga tak berkutik.
Menurut saya, Pusat Bahasa mestinya segera melakukan tindakan "penyelamatan" agar istilah BKT itu diganti dengan KBT. Mungkin saja dengan mendapat surat "teguran" dari Pusat Bahasa, Sutiyoso bisa acuh dan segera memakai istilah yang benar. Selain itu, harapan terhadap media massa untuk meluruskan kesalahkaprahan ini juga tinggal harapan. Kenyataannya, tak satu pun media massa yang "berani" mau memulai memakai istilah yang benar itu, termasuk Kompas.
Read more!
|
posted by Apollo Lase @ 9:01 PM |
|
|
|
|
Postingan Terakhir |
|
Info Lain |
|
Postingan Bulan Lalu |
|
Pesan dan Kesan |
|
Sahabat Terbaikku |
|
Free Hit Counter |
|