Halo teman-teman, setelah sekian lama tidak mengeblog, tiba-tiba malam ini saya tergerak juga untuk buka dan menulis. Saya percaya teman-teman bloger pada sehat-sehat semua dan, iya, saya minta maaf bila ketika berkunjung di "Blog H4" pada kecewa karena tidak ada sesuatu yang baru.
Tak tahu harus ngomong apa. Hari-hari ini aku merenung, ikut gelisah melihat kondisi negeri kita yang terus-menerus didera bencana. Tak habis pikir, rasanya bangsa kita menjadi bulan-bulanan permasalahan. Rentetan bencana begitu melekat dalam ingatan kita. Bencana tsunami Aceh+Nias, gempa Nias, Merapi yang meletus, gempa Yogyakarta+Jateng, banjir di mana-mana, lumpur panas Sidoarjo, kekeringan, kebakaran hutan, dan yang paling gres: gempa disertai gelombang laut (tsunami) di Pangadaran di Jawa Barat.
Tak terkira berapa kerugian yang bangsa kita alami, ratusan ribu nyawa melayang, kerugian harta benda, dan belum lagi efek pascabencana. Kalau ibarat perusahaan, negara ini sudah jatuh bangkrut. Uang negara ini sepertinya habis buat mengurus bencana. Sedih dan sedih.... bahkan mungkin kita sudah kehabisan airmata menangisi semua ini. Kita mungkin sudah kehabisan kata-kata mengungkapkan betapa perihnya bencana yang terjadi.
Sementara itu, kita sudah banyak membaca dan mendengar berbagai komentar para intelektual, ahli di bidangnya, dan tokoh-tokoh masyarakat yang mencoba merespons, menanggapi, memberi perenungan terhadap semua bencana yang bangsa ini hadapi. Tentu agar kita semua tercerahkan, terhibur, terobati, dan syukur-syukur bisa menjadikan bencana ini sebagai alat introspeksi diri, mawas diri, dan bisa belajar sesuatu darinya. Tak kurang juga kita tahu bagaimana pemerintah mencoba dengan segala daya upaya menjawab teriakan para korban, bergerak dengan segala kemampuan yang ada guna mengatasi masalah demi masalah. Ini tentu karena pemerintahlah yang menjadi penanggung jawab terhadap kondisi rakyatnya.
Lahirnya empati dan simpati dari antarkita sebagai anak bangsa juga hal yang kita rasakan hari-hari ini. Mahasiswa bergerak membantu menjadi sukarelawan, rela berpanas-panas di jalan di tengah kemacetan lalu lintas menyodorkan kotak sumbangan untuk para pemakai jalan, hanya untuk mencoba berbuat sesuatu yang berguna bagi sesama. Media massa terus menampung sumbangan dari masyarakat.
Akan tetapi, dari kacamata awam saya kok kita tidak merasakan hasil dari pencerahan para ahli kita yang jago menulis, memaparkan fenomena alam melalui di media massa. Ketika tsunami Aceh, banyak pendapat bermunculan, tetapi semua itu sama sekali tidak ada artinya ketika tsunami Pangandaran terjadi. Akhirnya mungkin kita bertanya, mana peran BMG yang sudah begitu pengalaman dengan kegempaan di Indonesia, tetapi tidak bisa memberi peringatan dini untuk warga? Di mana pemerintah kita yang seharusnya punya prediksi dan kemampuan untuk menghadapi bencana karena sudah teruji dengan pengalaman, tetapi seperti "pasrah" saja? Akankah nasib bangsa kita begini terus?
Pertanyaan ini sudah berulang-ulang diteriaki. Namun, seperti teriak dalam periuk. Teriakan itu tertelan tiada terdengar. Tak terbayangkan, bila kota Jakarta akan ditimpa bencana serupa. Siapa yang tahu entah kapan. Namun, adakah pemerintah (dan kita semua) sudah siap?
Saya termasuk orang yang tidak memiliki pandangan bahwa ini hanya kesalahan pemerintah sendiri. Bahkan saya juga tidak setuju atas pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang membawa sial. Akan tetapi, kiranya kita seluruh bangsa ikut mengambil tanggung jawab atas semua ini. Siapa pun kita, agama apa pun kita, suku/etnis apa pun kita, hendaknya punya pandangan yang sama terhadap bencana ini bahwa kita semua harus BERTOBAT.
Kita harus bertobat untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. (Ini mungkin sepele namun penting....). Bertobat untuk tidak membabat hutan. Berhenti korupsi. Berhenti untuk melakukan hal-hal yang memicu disintegrasi bangsa. Usulan bahkan praktik berbagai perda yang bernuansa SARA, RUU Antipornografi, dan berbagai program yang kontroversial (ada yang pro dan kontra) sangat memakan energi dan waktu, sehingga kita selain terancam mengalami perpecahan, kita akhirnya lupa dengan berbagai ancaman yang siap menghancurkan kita.
Bencana selanjutnya sudah menunggu kita. Dia ibarat singa yang mengaum-ngaum mencari mangsanya.
|
setuju bang
for things to change, i have to change first
sudah saatnya berhenti menyalahkan pihak lain. mulai dari diri sendiri dulu, perbaiki semua yang salah dari hal-hal yang kecil, tul ga bang?
ini sudah bukan teguran Yang Diatas, ini tamparan buat kita karena kita bebal dan nggak mau instropeksi diri sendiri...